DaerahJawa Tengah

Belasan PJTKI di Pemalang Dilaporkan ke Polda Jateng, Ketua LBH Jong Java: Manning Agency Tak Perlu Gerah

Pemalang,mitratoday.com – Klaim dualisme aturan antara Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI) dan Surat Izin Usaha Keagenan Awak Kapal (SIUKAK) sebagai alasan ketidakrelevanan pelaporan dugaan pelanggaran hukum terhadap sejumlah Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) di Pemalang yang dilontarkan di media oleh Ketua Umum Indonesia Maritime Crewing Agents Association (IMCAA), Hengky Wijaya pada Kamis (5/6/2025) lalu dibantah tegas Ketua LBH Jong Java, Adv. M.C. Wildanil Ukhro, S.H.

Danil menegaskan bahwa pandangan Ketua Umum IMCAA, Hengky Wijaya tersebut keliru dan bertentangan dengan hukum yang berlaku, sehingga perlu adanya sosialisasi dari pemerintah supaya tidaka ada klaim semacam itu lagi. Menurutnya, klaim mengenai dualisme aturan yang menciptakan ketidakjelasan bagi “manning agency” adalah argumen yang tidak lagi memiliki dasar hukum kuat dan tanpa alasan, terutama setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 127/PUU-XXI/2023. Dimana Putusan ini diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi pada tanggal 29 November 2024, secara tegas telah mengadili perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” tegas Danil, kepada media Senin (9/6/2025).

Danil mengatakan dalam amar putusannya, Mahkamah Konstitusi dengan tegas menyatakan: “Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.”
Penolakan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 oleh Mahkamah Konstitusi ini memiliki implikasi hukum yang sangat penting. Hal ini berarti: Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) tetap berlaku dan sah secara konstitusional. Undang-Undang ini secara komprehensif mengatur mengenai penempatan dan pelindungan pekerja migran Indonesia, termasuk mereka yang bekerja sebagai awak kapal.

“Jadi, tidak ada dualisme regulasi yang sah secara hukum,” ujar Danil.

Lebih lanjut Danil mengatakan bahwa dengan ditolaknya permohonan pengujian, ketentuan dalam UU PPMI, termasuk persyaratan perizinan bagi entitas yang menempatkan pekerja migran, tetap menjadi landasan hukum utama. Oleh karena itu, bagi perusahaan yang menempatkan pekerja migran Indonesia, termasuk awak kapal, wajib memiliki SIP3MI sebagaimana diatur dalam UU PPMI.

“Klaim manning agency yang hanya mengantongi SIUKAK adalah sah dan cukup, tidak lagi relevan. SIUKAK, yang mungkin diatur dalam sektor lain, tidak dapat menganulir atau menggantikan kewajiban perizinan yang diamanatkan oleh UU PPMI untuk penempatan pekerja migran, termasuk awak kapal. Perlindungan terhadap pekerja migran adalah tujuan utama dari UU PPMI, dan aspek perizinan yang ketat adalah salah satu instrumen untuk mencapai tujuan tersebut,” jelas Danil.

Kedudukan Hukum SIP3MI dan SIP2MI

SIP3MI (Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia) dan SIP2MI (Surat Izin Perekrutan dan Penempatan PMI) diatur dalam Pasal 51 dan Pasal 54 UU PPMI: Setiap perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia wajib memiliki SIP3MI.
Pasal 72 huruf c jo. Pasal 86 UU PPMI: Menempatkan PMI tanpa SIP2MI merupakan tindak pidana yang dapat dikenai sanksi pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp15 miliar.
Perusahaan yang menempatkan pelaut ke luar negeri tanpa SIP3MI/SIP2MI berpotensi dikualifikasi sebagai pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) menurut UU No. 18/2017 dan UU No. 21/2007 tentang Pemberantasan TPPO.

SIUPPAK dan SIUKAK Bukan Pengganti SIP3MI/SIP2MI

SIUPPAK (Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal) dan SIUKAK (Surat Izin Usaha Keagenan Awak Kapal) adalah bentuk izin usaha teknis dari Kementerian Perhubungan yang diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. 59 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Usaha Jasa Terkait dengan Angkutan di Perairan. Namun, baik SIUPPAK maupun SIUKAK bukan izin penempatan pekerja migran sebagaimana dimaksud dalam UU PPMI. Keduanya hanya mengatur aspek teknis pelayaran dan logistik, bukan aspek hukum penempatan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Dengan demikian, SIUPPAK atau SIUKAK tidak dapat dianggap sebagai izin yang sah untuk menempatkan pelaut Indonesia ke luar negeri. Jika perusahaan menggunakan SIUPPAK atau SIUKAK sebagai dasar penempatan tanpa SIP3MI/SIP2MI, maka perusahaan tersebut tetap melanggar hukum dan dapat dikenai sanksi pidana berdasarkan UU PPMI.

Mahkamah Konstitusi Memberikan Kepastian Hukum

Putusan MK No. 127/PUU-XXI/2023 menegaskan bahwa:
Pelaut adalah bagian dari pekerja migran dan harus mendapat perlindungan menyeluruh dari negara.
Sistem perlindungan ini harus terintegrasi dalam rezim UU PPMI, termasuk aspek perizinan,” beber Danil.

Danil kembali menegaskan argumen bahwa SIUPPAK/SIUKAK cukup, adalah pandangan yang keliru dan mengarah pada pelanggaran hokum, Putusan ini bersifat final dan mengikat, serta mencerminkan interpretasi konstitusional yang harus dipatuhi oleh semua pihak, baik swasta maupun pemerintah, pelaporan terhadap PJTKI tanpa SIP3MI adalah sah dan diperlukan. Selain itu, pelaporan terhadap perusahaan penempatan pelaut yang tidak mengantongi SIP3MI adalah tindakan yang beralasan secara hukum dan moral, karena bertujuan untuk:
Melindungi pelaut Indonesia dari risiko perdagangan orang dan eksploitasi
Mendorong kepatuhan terhadap UU PPMI
Menegakkan asas kepastian hukum dan perlakuan yang adil sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D UUD 1945.

Oleh karenanya, semua perusahaan wajib taat pada SIP3MI. “Kami dari Lembaga Bantuan Hukum Jong Java mendesak semua pelaku usaha keagenan awak kapal, termasuk yang memiliki SIUKAK dan SIUPPAK, untuk:
Segera mengurus SIP3MI/SIP2MI jika melakukan penempatan pelaut ke luar negeri.
Tidak lagi menggunakan alasan dualisme izin karena hukum telah menyatakan bahwa pelaut adalah pekerja migran. Mendukung pelaporan terhadap praktik-praktik yang tidak sesuai hukum sebagai upaya kolektif membenahi sistem perlindungan pekerja migran Indonesia,” tandas Danil.

Menurutnya, perlindungan pelaut bukan beban, tapi kewajiban konstitusional.
Argumentasi tentang “payung hukum yang tidak jelas” tidak lagi dapat dibenarkan. Putusan Mahkamah Konstitusi ini memberikan kepastian hukum yang sangat jelas mengenai rezim perizinan dan pelindungan pekerja migran. Jika ada pihak yang merasa “terombang-ambing”, hal tersebut mungkin berasal dari ketidakpahaman atau keengganan untuk mematuhi regulasi yang telah ditegaskan oleh lembaga yudikatif tertinggi. Oleh karena itu, pelaporan terhadap PJTKI yang diduga tidak mengantongi SIP3MI adalah langkah yang sangat relevan dan mendasar. Ini merupakan upaya penegakan hukum ini justru bertujuan untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang sah dan melindungi hak-hak pekerja migran Indonesia, termasuk para awak kapal, dari praktik-praktik yang tidak sesuai dengan hukum.

“Kami mendesak semua pihak, khususnya para pelaku usaha keagenan awak kapal, untuk memahami dan mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 127/PUU-XXI/2023. Kepastian hukum telah diberikan, dan tidak ada alasan lagi untuk mengklaim adanya dualisme atau ketidakjelasan aturan. Pematuhan terhadap SIP3MI adalah wajib demi terwujudnya perlindungan yang optimal bagi pekerja migran Indonesia.

“Kepada para pihak “manning agency” yang telah mengantongi ijin tentunya tidak perlu gerah atas pengaduan dugaan tindak pidana, toh ini berlaku untuk “manning agency” yang nakal dan bandel kan?,” tutup Ketua LBH Jong Java Adv. M.C. Wildanil Ukhro, S.H sambil tersenyum simpul.

(Hartadi)

Bagikan

Rekomendasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

Back to top button