
Bengkulu,mitratoday.com — Gelombang skandal korupsi yang menggulung mantan Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah, kini memasuki babak baru yang lebih mencengangkan.
Dalam pengembangan penyidikan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebuah temuan mengejutkan menyeruak ke permukaan: ratusan butir peluru aktif tanpa senjata api ditemukan di rumah Kepala Dinas PUPR Provinsi Bengkulu, Tejo Suroso.
Temuan ini menandai perubahan arah dari kasus yang semula berfokus pada dugaan korupsi politik menuju potensi pelanggaran berat Undang-Undang Darurat terkait dugaan kepemilikan amunisi ilegal.
Dari rumah pribadi Tejo, penyidik KPK diduga menyita 609 butir peluru aktif, menyulut dugaan adanya penyimpangan lain yang selama ini tertutup rapat dalam lingkar kekuasaan Pemprov Bengkulu.
Amunisi Tanpa Senjata, Dalih Lama Tak Menjawab Rasa Curiga
Berhembus kabar awal bahwa jumlah peluru mencapai ribuan. Namun, Polda Bengkulu buru-buru meralat: hanya 609 butir. Meski begitu, angka ini tetap mencengangkan. Terlebih, tidak ditemukan satu pun senjata api yang bisa menjelaskan alasan penyimpanan amunisi tersebut.
Kepolisian mengklaim bahwa amunisi itu telah berada di tangan Tejo sejak 2012, saat ia masih menjabat sebagai Kepala Bidang di Dinas PUPR Kepahiang. Ironisnya, peluru-peluru itu disebut-sebut milik mantan atasannya, Ismen Paneri—sebuah pengakuan yang terdengar seperti upaya mengalihkan tanggung jawab.
Namun, publik tak mudah percaya. Dalam unjuk rasa yang digelar Koalisi Pemuda Peduli Keadilan (KPPK) pada Jumat, 16 Mei 2025, massa mendesak agar aparat penegak hukum tidak hanya fokus pada korupsi, tapi juga mengusut tuntas asal-usul dan tujuan dari penyimpanan amunisi itu.
UU Darurat: Ancaman 20 Tahun Penjara Hingga Hukuman Mati
Mengacu pada Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951, kepemilikan amunisi tanpa izin jelas merupakan pelanggaran serius. Pasal 1 ayat (1) menyebutkan, siapa pun yang tanpa hak menguasai, menyimpan, atau memperdagangkan senjata api, amunisi, maupun bahan peledak, terancam hukuman penjara minimal 20 tahun, bahkan bisa hukuman mati.
Pertanyaannya: mengapa seseorang yang bukan aparat, bukan anggota klub menembak, dan diduga tidak memiliki izin menyimpan peluru sebanyak itu di rumahnya selama lebih dari satu dekade?
Jerat Korupsi Beranak Kasus: Satu Terbongkar, Lain Terkuak
Semua bermula dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK pada 23 November 2024. Rohidin Mersyah, kala itu sebagai salah satu calon Gubernur Bengkulu, ditangkap karena diduga menyalahgunakan APBD untuk membiayai pencalonan kembali di Pilkada 2024.
Penggeledahan KPK pada 4 Desember 2024 menyasar ruang kerja Gubernur, Sekda Isnan Fajri (yang kini juga jadi tersangka), hingga Biro Umum Pemprov. Puncaknya terjadi pada 5 Desember, saat penggeledahan menyentuh ranah pribadi sejumlah pejabat dinas, termasuk rumah Tejo Suroso.
Dari sinilah dimulai teka-teki baru. Temuan amunisi itu menyeret nama-nama lain dan membuka kemungkinan bahwa korupsi yang terjadi bukan sekadar soal uang, tapi menyimpan bahaya lebih dalam: kultur kekuasaan yang terkontaminasi jaringan kotor, mungkin bahkan berbau milisi sipil.
Meski barang bukti telah diserahkan ke kepolisian sejak akhir 2024, tidak ada langkah konkret hingga gelombang protes masyarakat memaksa mereka angkat bicara. Ini menimbulkan pertanyaan serius tentang independensi dan keberanian aparat dalam menangani kasus yang melibatkan elit birokrasi.
“Jangan sampai hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas,” ujar Rizal, Koordinator Aksi KPPK, dalam orasinya.
Mereka menuntut agar Kapolda Bengkulu segera menetapkan status hukum Tejo Suroso dan menyeret aktor-aktor lain yang bersembunyi di balik institusi.
Amunisi, Korupsi, dan Ancaman Demokrasi
Kasus ini tak lagi sekadar soal korupsi APBD. Ini tentang integritas institusi, keberanian aparat, dan masa depan demokrasi lokal di Bengkulu. Saat peluru dan uang rakyat disimpan orang yang seharusnya membangun jalan dan jembatan, publik pantas curiga bahwa infrastruktur bukan satu-satunya proyek yang sedang digarap—mungkin ada proyek kekuasaan yang jauh lebih gelap.
Kini, mata rakyat tertuju pada Aparat Penegak Hukum, terkhusus KPK. Apakah hukum akan ditegakkan tanpa pandang bulu? Atau justru kasus ini akan lenyap di tengah kabut kompromi politik?. Waktu akan menjawab. Tapi sejarah tak pernah diam.(Tim).