
Oleh: Prof. Dr. Harris Arthur Hedar, SH, MH
Jakarta,mitratoday.com – Data menunjukkan pengguna internet di Indonesia mencapai 229 juta lebih orang. Platform yang paling sering diakses adalah WhatsApp, Facebook, Tiktok, Instagram, YouTube, dan X. Perilaku penggunaan internet dengan komposisi: 24,8% untuk mengakses media sosial, 15% untuk membaca berita media online, 15% untuk transaksi keuangan, dan sisanya untuk lain-lain.
Dari hasil survei Digital News Report 2025, tercatat 57% responden penduduk Indonesia mendapatkan berita atau informasi melalui media sosial. Bukan media online mainstream. Sehingga timeline (lini masa) di media sosial telah menjadi instrumen opini publik. Bukan lagi instrumen chat atau obrolan.
Lantas apa yang terjadi jika yang beredar di lini masa media sosial dan viral adalah konten hoaks? Seperti Miscaption, Deepfake, Ajakan palsu atau narasi jahat yang dibangun dengan sesat pikir (logical fallacy)? Inilah pelajaran yang harus kita petik dari kerusuhan akhir Agustus lalu.
Kementerian Kominfo mencatat 1.923 hoaks terdeteksi sepanjang 2024, dengan tema politik dan keamanan. Artinya ada sebuah kegiatan produksi konten hoaks yang dilakukan oleh orang atau kelompok. Tujuannya jelas: peningkatan keresahan dan misinformasi di masyarakat. Apalagi kebiasaan forward di grup WhatsApp telah menjadi tren para pengguna smartphone.
Ancaman Serius
Setidaknya ada empat konten yang menjadi ancaman serius bagi masyarakat pengguna media sosial.
Pertama adalah miscaption (video/foto lama diberi keterangan waktu/tempat baru). Misalnya video sekelompok orang atau mahasiswa menyerbu ruang sidang gedung DPR RI. Padahal itu cuplikan gambar peristiwa 1998. Tetapi diberi teks atau narasi Agustus kemarin. Atau video Presiden Prabowo Subianto malam hari mendatangi kediaman mantan Presiden Jokowi. Padahal itu video lama, tetapi diberi konteks saat Jakarta rusuh kemarin.
Kedua adalah deepfake (audio/visual sintetis yang meniru tokoh). Contoh kasus terbaru adalah video/rekaman yang meniru suara dan memalsukan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyebut menyebut “guru beban negara”. Tim dari MAFINDO (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) telah menguji dengan detektor watermark SynthID dan menyimpulkan konten tersebut rekayasa AI.
Ketiga adalah ajakan aksi palsu, yang kerap beredar di lini masa atau terkirim melalui siaran komunitas (broadcast). Contoh di tengah situasi yang memanas, tersebar broadcast mengatasnamakan organisasi atau mahasiswa yang mengajak masyarakat untuk menuju lokasi aksi, lengkap dengan tanggal, jam, dan titik kumpul, yang nyatanya tidak ada agenda aksi resmi. Ajakan palsu ini bertujuan mengarahkan massa ke titik yang salah, waktu yang salah, sehingga justru memicu kerawanan atau bentrokan spontan akibat kerumunan.
Keempat adalah narasi sesat pikir atau logical fallacy. Narasi ini biasanya dikemas dengan meme atau flyer yang beredar di lini masa media sosial. Teks kalimat yang dituliskan berisi
argumen yang seolah terlihat benar, padahal tidak valid. Kesalahan ini sering digunakan, baik disengaja maupun tidak, untuk memanipulasi atau menyesatkan orang lain.
Ada beberapa jenis narasi sesat pikir yang sering menumpang melalui flyer atau teks kalimat di media sosial. Di antaranya: Ad Hominem. Narasi yang dibuat menyerang karakter, motif, atau latar belakang orang. Bukan fokus kepada argumennya. Misalnya: ‘Bagaimana kita bisa percaya pada pendapatnya tentang perubahan iklim? Dia kan seorang politisi. Pasti ada agenda tersembunyi.’
Berikutnya adalah Straw Man Fallacy. Narasi ini menyederhanakan, atau sebaliknya melebih-lebihkan, atau bahkan memutarbalikkan argumentasi. Misalnya: ‘Pemerintah harus meningkatkan dana untuk pendidikan karena kualitasnya menurun.’ Lalu diserang dengan narasi: ‘Jadi semua uang negara dihabiskan untuk pendidikan saja? Itu konyol, lalu bagaimana dengan kesehatan dan infrastruktur?’.
Lalu ada juga Bandwagon Fallacy (Argument ad Populum). Narasi ini mengasumsikan bahwa suatu isu atau argumen itu benar karena banyak orang yang memercayainya. Misalnya: ‘Jutaan orang di media sosial percaya bahwa vaksin itu berbahaya. Jadi pasti ada kebenarannya.’
Kemudian False Dichotomy. Narasi sesat yang memojokkan seseorang bahwa pilihan itu hanya ada dua. Tidak ada pilihan lain selain dua itu. Padahal ada banyak pilihan lain yang tersedia. Misalnya: ‘Kamu mendukung kebijakan pemerintah ini atau kamu anti-pemerintah?’
Yang terakhir adalah Appeal to Authority (Argumentum ad Verecundiam). Narasi sesat ini membangun kebenaran argumen hanya karena disampaikan oleh figur otoritas, tanpa mempertimbangkan validitas argumen itu sendiri. Misalnya: ‘Teori konspirasi ini pasti benar karena seorang profesor di universitas ternama juga mendukungnya.’
Memahami jenis-jenis sesat pikir ini bisa membantu kita lebih kritis dalam menyaring narasi, terutama di media sosial. Dengan mengenali polanya, kita tidak akan mudah terjebak dalam narasi yang menyesatkan dan bisa berargumen dengan lebih logis.
Keempat konten di atas; miscaption, deepfake, ajakan palsu dan narasi sesat pikir, apabila diterima secara bersamaan atau dalam rentang yang tidak terlalu jauh waktunya, maka akan saling menguatkan. Karena miscaption menyalakan emosi, deepfake menghantam kepercayaan pada otoritas, ajakan palsu akan menggerakkan kerumunan ke titik rawan, sedangkan narasi sesat pikir diproduksi untuk memanipulasi atau menyesatkan masyarakat dalam alam pikirnya.
Tugas Pemerintah
Masyarakat pengguna atau yang terpapar konten hoaks tentu tidak memiliki kemampuan yang sama dalam melakukan verifikasi. Apalagi masyarakat dengan latar pendidikan yang tidak tinggi. Dan itu mayoritas di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah harus hadir untuk melakukan penjernihan hoaks.
Negara harus membentuk command room satu atap yang bertugas melakukan analitik disinformasi, dan merespon dengan cepat dalam hitungan menit untuk menyampaikan bahwa konten tersebut hoaks, deepfake atau ajakan palsu. Command room ini bisa dikomando oleh Kementerian Informasi, dengan melibatkan semua perangkat atau instansi yang berkaitan dengan cyber.
Tugasnya jelas: deteksi real-time miscaption, deepfake, ajakan palsu, narasi sesat pikir dan amplifikasinya. Jangan biarkan konten tersebut menyebar dengan cepat, tanpa verifikasi, atau tanpa counter atau tanpa ulasan yang menjelaskan bahwa itu hoaks atau berbahaya bagi masyarakat.
Penjelasan atau counter tersebut disiarkan serentak di media mainstream TV, Radio dan media online, serta di kanal medsos YouTube, Facebook, TikTok, Instagram dan Tiktok serta broadcast WA.
Dalam situasi gejolak atau genting, harus dilakukan jumpa pers harian atau update per waktu, mengenai situasi terkini, termasuk klarifikasi informasi hoaks yang beredar di medsos. Waktu respon ini harus secepatnya. Bukan menunggu hari esok. Tapi realtime setelah didapatkan bukti bahwa konten tersebut hoaks, deepfake dan sejenisnya.
Karena dalam ekologi digital yang berkecepatan tinggi, kecepatan klarifikasi menjadi salah satu indikator kunci. Studi Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia tahun 2024, mencatat rata-rata warganet Indonesia menghabiskan 3 jam 6 menit per hari di media sosial, dengan 167 juta pengguna aktif.
Dalam konteks kerusuhan 2025, kita bisa mengambil pelajaran, secepat apa pemerintah melakukan debunking alias tindakan membongkar dan menunjukkan bahwa suatu informasi itu hoaks, deepfake dan sejenisnya, dengan menyajikan bukti-bukti yang terverifikasi. Sehingga hoaks yang menjadi viral tersebut akan teredam dengan sendirinya, dan tidak laku di jari masyarakat yang terbiasa memforward konten.
Penulis adalah Ketua Dewan Pembina Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Pusat, dan Guru Besar Universitas Negeri Makassar dan Wakil Rektor Universitas Jayabaya Jakarta.