BlitarDaerahjawa Timur

Ini Klarifikasi Bapenda Kab Blitar Terkait Aksi Demo Supir Truk Tambang

Blitar,mitratoday.com – Ratusan sopir truk pasir di Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, menggelar aksi demonstrasi pada Jumat (4/7/2025). Aksi ini dipicu oleh keluhan para sopir terhadap kebijakan tarif Surat Tanda Pengambilan (STP) sebesar Rp24 ribu untuk setiap kali angkut pasir. Para sopir merasa kebijakan ini tidak adil dan membebani mereka secara finansial. Namun, di balik aksi tersebut, muncul pertanyaan penting: siapakah sebenarnya pihak yang berkewajiban membayar pajak atas pengambilan pasir.

Dalam wawancara dengan awak media, Agus, salah satu sopir yang ikut dalam aksi tersebut, menyatakan bahwa ia sangat keberatan jika harus membayar biaya STP. Menurutnya, setiap kali melakukan satu kali angkut pasir dari lokasi tambang, ia dikenakan biaya yang cukup tinggi, sementara pendapatan yang diperoleh tidak sebanding.

“Saya harus bayar Rp24 ribu setiap kali angkut. Ini berat. Padahal kami hanya mengangkut, bukan yang mengambil atau menambang pasir,” keluh Agus.

Menanggapi hal ini, Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Blitar, Asmaning Ayu, memberikan klarifikasi yang penting untuk dipahami oleh semua pihak, terutama para pelaku usaha tambang dan para sopir truk. Menurut Asmaning, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB) merupakan pajak yang dikenakan kepada pihak yang melakukan kegiatan pengambilan atau penambangan sumber daya alam, bukan kepada sopir truk yang hanya bertugas mengangkut.

“Pajak MBLB adalah pajak atas aktivitas pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari alam. Yang dikenai pajak adalah orang atau badan hukum yang melakukan penambangan atau yang memiliki izin usaha tambang, bukan sopir,” jelasnya.

Ia juga menerangkan bahwa STP (Surat Tanda Pengambilan) diterbitkan sebagai bukti bahwa pajak tersebut telah dibayarkan. Tarif STP yang ditetapkan sebesar Rp24 ribu sudah melalui proses perhitungan berdasarkan aturan yang berlaku, serta memperhatikan kapasitas tonase maksimal jalan kabupaten, yang di Blitar umumnya adalah kelas 3 dengan batas enam ton.

Penjelasan dari Bapenda menegaskan bahwa sopir truk hanyalah pihak pengangkut, bukan subjek pajak. Beban pajak seharusnya ditanggung oleh penambang, pemilik stockpile, atau pihak yang memiliki hak usaha atas pengambilan material dari alam. Namun, dalam praktiknya di lapangan, sering kali beban tersebut dialihkan secara tidak langsung kepada sopir, baik dalam bentuk potongan ongkos angkut maupun tarif tetap seperti STP.

“Kami sudah melakukan sosialisasi kepada perwakilan penambang, stockpile, dan sopir di tingkat kecamatan dan desa. Tapi karena ini kebijakan yang baru berjalan, mungkin masih ada yang belum memahami secara menyeluruh. Kami akan evaluasi dan tingkatkan lagi komunikasi agar tidak terjadi miskomunikasi,” tambah Asmaning.

Sebagai hasil dari aksi damai tersebut, para sopir dan perwakilan pemerintah akhirnya mencapai kesepakatan bahwa pihak yang mengambil sumber daya alam adalah yang seharusnya membayar pajak. Untuk menjembatani komunikasi dan memperjuangkan kepentingan para sopir, telah dibentuk sebuah paguyuban sopir truk pasir. Paguyuban ini akan menjadi wadah koordinasi dan dialog antara sopir, penambang, dan pemerintah daerah.

Langkah pembentukan paguyuban ini dinilai positif karena dapat mengurangi kesalahpahaman di masa depan serta menjadi sarana edukasi yang berkesinambungan. Pemerintah daerah sendiri berkomitmen untuk terus mensosialisasikan aturan perpajakan secara terbuka dan transparan, agar para pelaku usaha di sektor tambang memahami hak dan kewajibannya masing-masing.

Kasus di Blitar ini menjadi contoh penting betapa edukasi perpajakan sangat dibutuhkan, terutama dalam sektor-sektor yang melibatkan banyak pelaku usaha dan tenaga kerja di lapangan. Pajak MBLB adalah salah satu sumber pendapatan daerah yang penting untuk pembangunan. Namun, jika pemahaman mengenai siapa yang menjadi subjek pajak tidak jelas, maka akan terjadi kebingungan bahkan potensi konflik dilapangan.

Pemerintah berharap dengan peningkatan sosialisasi dan pembentukan paguyuban, para sopir truk pasir dapat bekerja tanpa beban tambahan yang tidak semestinya. Sementara itu, pihak-pihak yang memiliki izin tambang dan stockpile diminta untuk bertanggung jawab sesuai ketentuan yang berlaku.

Aksi demo yang terjadi di Nglegok sejatinya adalah bentuk aspirasi yang sah dari para sopir. Namun, perlu diluruskan bahwa pajak MBLB bukanlah kewajiban mereka, melainkan tanggung jawab pihak yang melakukan pengambilan sumber daya. Dengan edukasi yang tepat, diharapkan seluruh pihak dapat memahami posisi dan tanggung jawabnya, sehingga ke depan tidak lagi terjadi kesalahpahaman serupa. Pemerintah, pelaku usaha, dan pekerja di lapangan harus terus bersinergi demi kelancaran dan keadilan dalam sektor pertambangan rakyat di Blitar.

( Novi )

Bagikan

Rekomendasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

Back to top button