ArtikelBengkuluBENGKULUHeadlineNasionalpendidikan

Jurnalisme vs Jempol : Masyarakat Jangan Telan Mentah Informasi Medsos

Oleh: Amirul M

Bengkulu,mitratoday.com – Di era ketika informasi berhamburan bak hujan meteor, masyarakat justru makin sulit membedakan mana cahaya bintang dan mana api neraka. Media sosial—yang awalnya lahir sebagai sarana komunikasi dan ekspresi kebebasan—kini Justru menjadi ladang informasi yang kurang akurat.

Ruang publik yang seharusnya menjadi tempat diskusi rasional dan berbasis data, kini lebih mirip pasar gelap informasi: gaduh, penuh tipu daya, dan rawan penyesatan.

Setiap hari, kita disuguhi ribuan potongan video, unggahan tangkapan layar, dan narasi meyakinkan yang menyebar lewat WhatsApp, Facebook, TikTok, hingga X (dulu Twitter). Tidak peduli benar atau salah, asal mengundang emosi, maka konten itu akan naik ke permukaan.

Algoritma memperkuat echo chamber—ruang gema tempat opini dipantulkan kembali tanpa tantangan. Yang viral bukan kebenaran, tapi yang paling dramatis. Yang terbukti bukan fakta, tapi yang paling menghibur atau membakar amarah.

Jempol Lebih Cepat dari Akal

Krisis yang kita hadapi hari ini bukan sekadar krisis informasi. Ini adalah krisis literasi dan krisis integritas digital. Masyarakat kita, dengan akses internet yang makin luas, ternyata belum diimbangi dengan kemampuan membaca secara kritis. Lebih parah lagi, budaya literasi digeser oleh budaya share-before-read. Orang-orang merasa cukup jadi “pakar dadakan” hanya bermodal satu unggahan dari akun tidak jelas.

Padahal, satu klik “bagikan” bisa berdampak besar: menyebarkan kebohongan, merusak reputasi orang lain, atau memperkeruh situasi sosial dan politik. Kita sudah melihat contohnya berulang kali: tokoh publik difitnah, kebijakan pemerintah dipelintir, bahkan isu SARA dijadikan bahan bakar politik identitas. Semua karena masyarakat percaya pada narasi, bukan pada bukti.

Mengapa ini berbahaya? Karena ketika masyarakat terbiasa menerima informasi tanpa proses klarifikasi, maka lahirlah warga negara yang reaktif, gampang terprovokasi, dan sulit diajak berdiskusi sehat. Demokrasi yang seharusnya tumbuh subur melalui dialog, justru layu oleh komentar-komentar toxic di kolom media sosial.

Di Mana Posisi Media?

Banyak yang bilang: “Media juga banyak yang bias!” Betul, beberapa media memang telah kehilangan arah dan hanya mengejar klik. Tapi itu tidak berarti kita boleh menyamaratakan semua media. Masih banyak media kredibel yang bekerja siang malam, turun ke lapangan, mencari konfirmasi, mewawancarai narasumber, dan memverifikasi data.

Media profesional bekerja dengan standar: kode etik jurnalistik, verifikasi fakta, keberimbangan narasumber, hak jawab, dan koreksi kesalahan. Ini bukan perkara sepele. Ini adalah pilar yang membedakan jurnalisme dari konten viral. Jurnalisme mungkin tidak selalu benar, tapi ia selalu berusaha jujur. Sementara media sosial, apalagi akun-akun anonim, tidak punya beban tanggung jawab.

Perbedaan paling jelas? Media kredibel bisa dimintai pertanggungjawaban, bisa dilaporkan ke Dewan Pers, bisa digugat secara hukum. Tapi akun medsos? Hilang hari ini, besok sudah muncul akun baru dengan nama palsu yang lain.

Ketika Kebohongan Menjadi Normal Baru

Masalah paling mendasar dari ketergantungan pada media sosial adalah normalisasi kebohongan. Kita mulai terbiasa membaca fitnah. Kita mulai terbiasa melihat informasi tanpa sumber. Kita mulai terbiasa dengan postingan provokatif yang menyesatkan. Dan yang lebih parah: kita mulai tidak peduli.

Ada yang bilang: “Ah, cuma lucu-lucuan.” Tapi kebohongan yang dibiarkan tanpa kritik akan berubah menjadi kebenaran palsu. Seperti kata Goebbels, propaganda Nazi: “Kebohongan yang diulang-ulang akan terdengar seperti kebenaran.” Jika kita tidak kritis, maka masyarakat akan menjadi korban bukan hanya dari berita palsu, tapi dari cara berpikir yang rusak.

Apalagi di tahun-tahun politik, ketika algoritma dan buzzer dikerahkan untuk menciptakan narasi buatan. Kandidat diserang dengan fitnah. Kebijakan dipelintir. Diskusi publik dikuasai oleh cyber army yang tugasnya bukan untuk menjelaskan, tapi menyesatkan.

Solusi: Literasi Digital dan Kembali ke Jurnalisme

Masyarakat harus mulai sadar: media sosial bukan sumber informasi yang dapat dipercaya sepenuhnya. Ia bisa menjadi pintu masuk, tapi tidak boleh menjadi satu-satunya referensi. Harus ada upaya aktif untuk mengecek ke media resmi. Harus ada keberanian untuk unfollow akun-akun tidak jelas. Harus ada ketegasan untuk melawan hoaks—bukan ikut menyebarkannya.

Pemerintah dan lembaga pendidikan juga punya peran penting. Literasi digital harus dimasukkan ke dalam kurikulum sejak dini. Anak muda harus diajarkan cara membedakan berita dan opini, fakta dan narasi, data dan asumsi. Dan yang paling penting: masyarakat harus diajak kembali menghargai kerja jurnalisme.

Apresiasi terhadap media yang kredibel harus dibangun kembali. Bukan dengan pujian kosong, tapi dengan sikap kritis yang konstruktif. Kritik boleh, tapi jangan lumpuhkan. Koreksi perlu, tapi jangan ditenggelamkan. Karena ketika jurnalisme mati, maka ruang publik dikuasai oleh keriuhan tanpa akal sehat.

Kebenaran Butuh Keberanian

Di tengah zaman di mana kebohongan menyamar sebagai opini, dan opini dianggap fakta, maka tugas warga negara bukan lagi sekadar menjadi pembaca. Kita harus menjadi pembelajar, pemeriksa, dan penjaga akal sehat.

Jangan biarkan jempol mengalahkan jurnalisme. Jangan biarkan viral mengalahkan verifikasi. Jangan biarkan noise mengalahkan voice.

Di ujung setiap klik dan share, ada pertaruhan: apakah kita menyebarkan cahaya, atau menambah gelap?

Bagikan

Rekomendasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

Back to top button