Kades Tak Lagi Berwenang Pecat Perangkat, Advokat Senior Soroti Perda BU Bermasalah

Bengkulu,mitratoday.com – Praktisi hukum sekaligus Advokat Senior PERADIN, Nediyanto Ramadhan, S.H., M.H., atau yang akrab disapa Nedi Akil, menegaskan bahwa kepala desa (kades) tidak lagi memiliki kewenangan memberhentikan perangkat desa. Hal ini disampaikannya pada Sabtu (10/8), menanggapi polemik pemecatan perangkat desa yang masih terjadi di sejumlah daerah.
Berdasarkan Pasal 26 Ayat (2) huruf b UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, sebelumnya kepala desa memang berwenang mengangkat dan memberhentikan perangkat desa. Hal ini kerap menjadi sumber sengketa hukum ketika kades diduga bertindak sewenang-wenang memecat perangkat tanpa prosedur sah.
“Banyak kasus di berbagai daerah, kades seenaknya memecat perangkat karena alasan subjektif, suka atau tidak suka. Seringkali perangkat desa menempuh jalur hukum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk menguji keputusan kades,” jelas Nedi Akil.
Namun, menurut Nedi, sejak diundangkannya UU Nomor 3 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 6 Tahun 2014 pada 25 April 2024, kewenangan pemberhentian perangkat desa kini beralih ke bupati/wali kota. Pasal 26 Ayat (2) huruf b UU terbaru itu menyebutkan, kepala desa hanya berwenang mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa kepada bupati/wali kota.
“Ini perubahan penting. Kepala desa tidak lagi bisa langsung memecat atau mengangkat perangkat. Harus melalui persetujuan bupati/wali kota. Tujuannya jelas: menghindari tindakan sewenang-wenang dan melindungi hak-hak perangkat desa,” tegas Nedi.
Ironisnya, lanjut Nedi, saat kewenangan kades sudah dicabut melalui UU Desa terbaru, DPRD dan Pemkab Bengkulu Utara justru mengesahkan Perda Nomor 2 Tahun 2024 yang masih memberi kewenangan pemecatan kepada kades. Padahal, secara hirarki perundangan, peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.
“Perda BU No. 2 Tahun 2024 jelas bertentangan dengan UU No. 3 Tahun 2024. Kenapa disahkan? Ini patut dipertanyakan. UU diundangkan 25 April 2024, jadi logikanya tidak ada alasan bagi pembentuk Perda untuk tidak menyesuaikan dengan UU terbaru. Asas hukum menyatakan setelah UU diundangkan, semua orang dianggap tahu. Sangat disayangkan di BU malah terjadi kemunduran hukum,” papar Nedi.
Menurutnya, tindakan kades yang tetap memberhentikan perangkat desa berlandaskan Perda tersebut jelas keliru. “Perda tidak boleh bertentangan dengan UU. Aturan yang lebih rendah harus tunduk pada aturan yang lebih tinggi. UU Desa terbaru tegas melarang, Perda malah membolehkan. Ini tidak boleh terjadi,” ujarnya.
Sebagai putra daerah Bengkulu Utara, Nedi mengaku prihatin sekaligus malu dengan lemahnya pengawasan substansi materi Perda. Ia berharap kejadian ini menjadi pelajaran agar ke depan penyusunan Perda atau aturan daerah dilakukan lebih cermat dan profesional, dengan memperhatikan pembaruan norma hukum nasional.
“Kalau dibiarkan, korban kebijakan salah kaprah ini bukan hanya perangkat desa, tapi kredibilitas pemerintahan daerah di mata publik. Semua pihak wajib memahami dan menaati UU terbaru agar tidak menabrak aturan dan menimbulkan masalah hukum baru,” pungkasnya.