
Bengkulu,mitratoday.com – Tabut adalah upacara tradisi masyarakat Bengkulu untuk mengenang syahidnya cucu Nabi Muhammad SAW, Imam Husain bin Ali bin Abi Thalib di Padang Karbala, Irak pada 10 Muharram tahun 61 Hijriah. Adalah Imam Senggolo atau Syekh Burhanuddin yang pertama kali melaksanakan ritual tabut pada taun 1685. Imam Senggolo akhrnya menikah dengan wanita Bengkulu yang kemudian anak keturunan mereka disebut keluarga Tabut. Upacara pelaksanaan Tabut pun selalu dilaksanakan mulai dari tanggal 1 hingga 10 Muharram.
Di momentum festival tabut tahun ini 2025, seorang penulis, aktivis, advokat dan pemerhati sosial Agustam Rachman mempersembahkan sebuah buku yang akan memperkaya sudut pandang transformasi sebuah tradisi menjadi festival dan “kepemilikan” tabut dalam sebuah kolektifitas warga Bengkulu yang selalu berulang. Mengenang sebuah kisah sejarah,meratapi dan sekaligus merayakannya. Bagaimana sinopsis buku “Kami Orang Tabut”, simak ulasannya : Hendri Akbar, Bengkulu ;
Duka yang dirayakan,
Selama berabad-abad, Tabut telah bertahan. Ia bukan sekadar ritual, bukan pula sekadar atraksi tahunan yang menghiasi kalender wisata daerah. Tabut adalah jembatan antara masa lalu dan masa kini, antara keyakinan dan identitas, antara individu dan masyarakat. Di sinilah teori struktural fungsional Durkheim menemukan ruang untuk bernafas, bahwa masyarakat adalah tubuh besar yang terdiri dari organ-organ yang saling mendukung, bahwa ritus-ritus, simbol-simbol, dan tindakan-tindakan kolektif bukanlah sesuatu yang remeh, melainkan landasan dari keteraturan sosial.
Kita telah menyusuri perjalanan panjang dalam buku ini, dari jejak sejarah Tabut dibawa oleh Imam Senggolo atau Syekh Burhanuddin, ke berbagai bentuk ritusnya yang kompleks, hingga makna-makna simbolik yang tersembunyi di balik gerak dan benda. Kita telah membaca bagaimana dol bukan hanya alat musik, tapi media komunikasi sosial. Kita melihat bagaimana masyarakat Bengkulu, baik Syiah maupun Sunni, pendatang maupun pribumi, muda maupun tua, turut larut dan menyatu dalam satu bahasa, bahasa simbolik Tabut.
Di sinilah letak keajaibannya, Tabut mampu menyatukan berbagai unsur sosial, memperkuat solidaritas, dan menegaskan identitas kolektif. Ketika seseorang berdiri di tengah keramaian prosesi, ia bukan lagi individu terpisah, melainkan bagian dari keseluruhan. Emile Durkheim menyebut hal ini sebagai “kesadaran kolektif”, sebuah perasaan kebersamaan yang lebih besar dari diri sendiri. Dan Tabut adalah salah satu sarana untuk menumbuhkan dan merawat kesadaran itu.
Durkheim percaya bahwa manusia tidak pernah benar-benar hidup sendirian. Dalam ruang batin kita yang terdalam, selalu ada kerinduan untuk terhubung dengan sesama, dengan nilai-nilai, dengan sesuatu yang lebih besar dari kita. Ritus, bukan sekadar perayaan religius, tapi mekanisme sosial yang memungkinkan masyarakat bertahan.
Melalui Tabut, masyarakat Bengkulu menjalani proses sakralisasi nilai-nilai: kesetiaan, pengorbanan, keadilan, dan kebersamaan. Kita menyaksikan bagaimana peristiwa tragis wafatnya cucu Nabi Muhammad SAW menjadi titik pijak bagi masyarakat untuk merefleksikan nilai-nilai kemanusiaan. Ini bukan lagi soal sejarah, tetapi tentang bagaimana sejarah dijadikan sarana untuk membangun etika kolektif.
Dan bukankah itu yang dibutuhkan masyarakat modern? Di tengah arus individualisme dan fragmentasi sosial, ritus seperti Tabut justru menjadi ruang pertemuan yang memulihkan rasa. Ia menjadi tempat di mana orang-orang berkumpul bukan karena kewajiban administratif, melainkan karena dorongan batin untuk berbagi makna.
Banyak orang mengira bahwa melestarikan tradisi berarti memelihara masa lalu. Tapi Tabut justru membuktikan sebaliknya: bahwa merawat ritus adalah cara untuk membangun masa depan. Tabut mengajarkan pentingnya keberlanjutan nilai dalam wujud yang bisa dirasakan, disentuh, dan dijalani bersama. Inilah proses pemeliharaan struktur sosial yang memungkinkan masyarakat tetap seimbang.
Generasi muda mungkin tidak memahami sepenuhnya kisah Karbala, tapi ketika mereka ikut menabuh dol, menghias Tabut, atau sekadar berdiri di pinggir jalan menyaksikan arak-arakan, mereka secara tidak sadar sedang membentuk jalinan sosial yang memperkuat komunitas. Mereka sedang menjadi bagian dari cerita besar yang terus ditulis ulang setiap tahun.
Tentu saja, tak ada tradisi yang hidup tanpa tantangan. Globalisasi, modernisasi, dan komersialisasi budaya menjadi ancaman sekaligus peluang bagi Tabut. Ada kekhawatiran bahwa makna sakral akan larut dalam kemasan wisata budaya. Tapi, sebagaimana dijelaskan Durkheim, masyarakat memiliki mekanisme pertahanan internal: ketika solidaritas sosial cukup kuat, maka nilai-nilai akan bertahan meski bentuknya berubah.
Kita bisa membayangkan bentuk-bentuk baru Tabut di masa depan, mungkin dengan pelibatan teknologi, dengan dokumentasi digital, atau dengan narasi-narasi baru yang lebih kontekstual bagi generasi muda. Tapi selama esensi solidaritas dan kesadaran kolektif tetap dijaga, maka Tabut akan tetap menjadi milik bersama.
Mungkin kita tidak selalu bisa menjelaskan dengan kata-kata apa arti Tabut bagi setiap orang. Tapi kita bisa merasakannya dalam langkah kaki yang mengikuti arak-arakan, dalam keringat yang menetes saat menghias Tabut, dalam tawa anak-anak yang menyaksikan dol dipukul dengan semangat. Di situlah Tabut hidup, bukan sebagai kenangan, tapi sebagai ritus sosial yang terus berdenyut, membawa kita pada kesadaran bahwa untuk menjadi manusia, kita butuh satu sama lain.
Menulis tentang Tabut adalah menulis tentang manusia, masyarakat, dan makna. Ia adalah cermin dari apa yang kita perjuangkan bersama: rasa memiliki, rasa peduli, dan rasa ingin terus bersama. Dalam teori Durkheim, semua itu adalah fondasi dari keteraturan sosial yang sehat. Dalam kehidupan nyata, semua itu kita temukan dalam Tabut.
Buku yang masih dicetak secara terbatas ini sudah mendapat dukungan yang sangan besar dari Gubernur Bengkulu Helmi Hasan dan Walikota Bengkulu. “Dengan penuh rasa syukur dan bangga, saya menyambut dengan hangat hadirnya buku yang berjudul : “KAMI ORANG TABUT” ini. Sebuah karya yang bukan hanya merekam sejarah panjang perjalanan budaya Tabut, tetapi juga menghadirkan narasi yang jujur dan menyentuh tentang bagaimana sebuah tradisi yang berakar dari peristiwa tragis di Padang Karbala, Irak, mampu menjelma menjadi kekuatan pemersatu masyarakat di Bengkulu Bumi Merah Putih.” tulis Helmi pada sambutannya.
“Saya selaku Walikota Bengkulu mengucapkan selamat dan sukses kepada Penulis yang telah menulis tradisi perayaan Tabut ini, menulis bukan sekedar menyampaikan informasi tetapi juga tentang berpikir yang mendalam dan menulis juga butuh keberanian. Penulis telah berhasil menuntaskannya. Semoga buku ini bisa menjadi rujukan berharga bagi semua pihak, berguna bagi para akademisi dan peneliti, bermanfaat bagi masyarakat Kota Bengkulu sebagai rujukan dalam memahami dan menghargai warisan budaya leluhur serta menjadi bahan informasi bagi yang ingin tahu tentang budaya Tabut ini,”kata Dedy Wahyudi.
Buku ini pun mendapat respon positif dari Rektor UIN Fatmawati Sukarno Bengkulu KH. Zulkarnain, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Bengkulu Agus Setiyanto, tokoh pers senior HM. Muslimin, dan pemerhati budaya dan sastra Emong Soewandi.