DaerahLampung Tengah

Menteri Pertanian Gagal Hadir Di Lamteng, Perusahaan Tapioka Masih Enggan Ikuti SKB Menteri

Lampung tengah,mitratoday.com-Meski pemerintah hadir di Lampung Tengah, melalui kementrian Pertanian belum membuahkan hasil saat betemu dengan petani dan pengusaha tapioka.

Faktanya, Petani singkong masih mengeluh karena masih banyak permasalahan paska Menteri Pertanian RI merilis harga jual beli dan penerapan kebijakan oleh pihak perusahaan.

Sedangkan, Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jendral Tanaman Pangan telah mengeluarkan surat kesepakatan harga ubi kayu dengan Nomor 8-0310/TP-200/0/01/2025.

Tetapi petani di Provinsi Lampung masih mengeluhkan berbagai masalah. Salahnya satunya perusahaan masih banyak yang belum menerima singkong dari petani dan harga belum mengikuti keputusan mentri pertanian.

Keluhan tersebut tercurahkan saat sejumlah petani singkong dari Kabupaten Lampung Tengah, Mesuji, Lampung Timur, dan Lampung Utara berkumpul di Kampung Gunung Agung, Kecamatan Terusan Nunyai, Lampung Tengah dalam agenda kunjungan menteri yang berhalangan hadir dan diwakili Yudi Sastro dari Dirjen Tanaman Pangan Kementerian RI, Senin (3/2/2025).

Berkumpul di aula Balai Kampung Gunung Agung, rata-rata para petani mengeluhkan hal yang serupa, terutama dadi cara perusahaan singkong menanggapi Surat Kesepakatan Bersama (SKB) yang dinilai tidak adil untuk petani.

Seperti yang dikatakan Kadek Tike, petani dari Perkumpulan Petani Ubi Kayu Indonesia (PPUKI) Mesuji, dia bahkan menyebut perusahaan singkong membangkang dan menggunakan berbagai alasan untuk merugikan petani.

“Setelah harga baru terbit dari kementerian seharga Rp 1.350 dengan refraksi maksimal 15 persen, realisasi di Mesuji tidak sesuai dan perusahaan mencari untung dengan menambah syarat lain seperti syarat tanah, syarat umur, bahkan ada syarat bonggol,” kata Kadek.

“Dengan syarat itu, meskipun harga tetap Rp 1.350, tapi refraksi untuk petani jadi membengkak. Kami bahkan pernah mendapat refraksi jadi 20 sampai 30 persen,” terangnya.

Kadek meneruskan, syarat tanah yang dimaksud adalah ketika ada tanah yang masih menempel pada singkong, perusahaan langsung menaikkan refraksi meskipun hanya tanah secuil.

Kemudian syarat bonggol yang dimaksud sejatinya adalah batang yang posisinya paling pangkal mendekati ubi. Namun realisasinya perusahaan menaikkan refraksi karena singkong ada akarnya.

Dengan syarat-syarat tersebut, perusahaan mengakumulasi dan refraksi akhirnya tidak sesuai ketentuan.

Kemudian kadar aci syaratnya 18 persen. Kami karena memang sudah skeptis dengan perusahaan, jadinya ikut curiga alat itu memang jujur atau diakalin juga sama mereka,” kata dia.

Kadek mengarahkan, seharusnya dengan harga sesuai SKB Menteri Pertanian, petani di Mesuji sudah mendapatkan keuntungan bersih Rp 947 per kilogramnya.

Namun dengan sikap perusahaan yang tidak benar-benar menerapkan SKB tersebut, keuntungan bersih tersebut menjadi berkurang.

Keluhan berikutnya datang dari Anggi Perdana dari Persatuan Petani Singkong Lampung Utara (PPSLU), dia pun mengaku bahwa perusahaan memainkan syarat dan memperbesar refraksi untuk petani disana.

“Oke harga Rp 1.350, oke refraksi 15 persen, tapi perusahaan menambah refraksi ketika kadar aci tidak memenuhi syarat. Petani pun dibuat terdiam karena alat pengukur kadar aci mereka yang punya,” kata Anggi.

“Bahkan, hari ini pun kalau petani memanen satu hektar singkong di Lampung Utara, 40 persen hasil panen sudah jadi milik perusahaan secara cuma-cuma hanya karena syarat kadar aci ini,” keluhnya.

Tak berhenti disitu, diskusi antara petani dan Dirjen Tanaman Pangan Kementerian RI dilanjutkan dengan keluhan Doni selaku perwakilan Perkumpulan Petani Ubi Kayu Indonesia (PPUKI) Lampung Timur.

Saking jenuhnya dengan kecurangan perusahaan, petani di Lampung Timur terbesit angan-angan agar BUMN mengcover komoditas singkong.

Sebab, Doni mengaku selama pabrik singkong masih dikuasai swasta, tidak akan ada keuntungan untuk petani.

“Petani khususnya di Lampung Timur tidak akan bisa bertani dengan tenang selama tidak ada regulasi, pupuk mahal karena subsidi dicabut, tidak ada inovasi bibit unggul dan modernisasi pertanian,” kata Doni.

Doni pun merasa sakit hati ketika petani setempat diejek perusahaan karena menganggap petani lokal di Lampung tidak inovatif dan masih memakai cara-cara manual dalam bertani.

Bagaimana tidak, Doni mengaku selama menanam singkong, dia tidak pernah mendapat sosialisasi dan penyuluhan pertanian singkong yang modern.

Dia pun masih bingung dengan cara untuk menghasilkan hasil panen berkadar aci tinggi sesuai permintaan perusahaan sesuai komoditasnya.

“Bayangkan jika saat ini kualitas aci singkong di indonesia diklaim perusahaan tidak bagus dibanding singkong impor,” kata dia.

“Petani singkong sampai tahun 2025 ini minim sosialisasi dan edukasi pertanian unggul, karena yang bisa dilakukan saat ini sistem cabut dan tanam masih manual,” ujarnya.

Terakhir, Iswan Rudi selaku petani singkong Lampung Tengah pun mengaku petani singkong masih kesulitan menjual singkong karena sejauh ini hanya ada 1 pabrik yang buka untuk menerima singkong petani.

Satu pabrik yang menampung hasil panen singkong seluruh Lampung Tengah, bahkan kabupaten lain tentu mengakibatkan antrean panjang.

Antrean mobil singkong hingga berhari-hari pun membuat Iswan khawatir karena berpotensi busuk dan tidak bisa dijual.

“Meskipun ada harga baru sesuai SKB Kementerian, kalau cuma satu pabrik singkong yang buka, sama saja kita dirugikan karena antreannya sampai ribuan ton,” kata dia.

Bahkan, Iswan mengaku peran pemerintah dengan gampangnya dimentahkan oleh perusahaan.

Sebab, seperti yang dikatakan petani di kabupaten lain, perusahaan menerapkan harga SKB Kementerian syarat yang menguntungkan mereka dan merugikan petani.

Iswan pun mencontohkan saat pabrik menolak singkong karena tidak sesuai syarat, atau menerima dengan refraksi yang lebih besar.

“Kalau petani mencari tempat lain dan terjual di lapak, lapak itu tetap disetor ke perusahaan yang menolak dia. Otomatis perusahaan nggak mau menguntungkan petani,”

“Saya rasa saat ada SKB Gubernur Lampung akan ada titik terang, nyatanya perusahaan pada tutup. Terus ada SKB Kementerian yang sebelumnya kami anggap masa depan baik untuk petani, ternyata pabrik singkong lebih licik dan mengakali petani,” kata Iswan.

Menanggapi hal tersebut, Yudi Sastro mengatakan bahwa semua keluhan petani akan menjadi atensi dan akan diteruskan ke Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman.

Yudi mengatakan, seluruh aspirasi dan keluhan petani itu akan didiskusikan bersama satgas pangan, dan Menteri Pertanian nanti yang akan membuat kebijakan.

“Yang pasti ini kan situasinya genting, selesai pertemuan ini akan segera saya sampaikan ke pak menteri. Tapi Menteri Pertanian kita meskipun tidak hadir dia sudah menyampaikan komitmennya, bahwa pak menteri berada di sisi petani,”

“Standing point dari Pak Menteri dan Pak Presiden kan sudah jelas, menang-menang-menang. Artinya solusi terbaik untuk petani, terbaik untuk pengusaha, dan untuk masyarakat sebagai konsumen harus mendapatkan yang terbaik juga,” kata Yudi.

Yudi menambahkan, harga Rp 1.350 dengan refraksi maksimal 15 persen ditentukan dengan pertimbangan yang matang oleh Menteri Pertanian.

Artinya, ketetapan harga tersebut diimbangi dengan komitmen untuk menyetop impor singkong dan jagung, agar petani berkontribusi besar untuk suplai bahan pangan tersebut.

Selain itu, setiap permasalahan yang terjadi di lapangan akan terus dicarikan jalan keluarnya.

“Disini semua aspirasi petani sangat baik dan tentunya pemerintah kita berpikir untuk memecahkan masalah masalah ini dan yang pasti pemerintah hadir untuk masyarakat,” tutupnya. ( Iswan)

Bagikan

Rekomendasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top button