
Bengkulu,mitratoday.com – Wacana memasukkan remaja bermasalah ke barak militer menuai kontroversi. Sejumlah pihak langsung bersuara lantang, mengangkat isu hak asasi manusia, trauma psikologis, hingga kekhawatiran atas pendekatan “otoriter.” Tapi anehnya, suara-suara itu nyaris sunyi saat remaja kita berubah jadi algojo jalanan, pengedar narkoba kecil-kecilan, atau raja geng motor yang menguasai jalan raya dengan kekerasan.
Apa sebenarnya yang mereka bela?
Mari kita buka fakta di lapangan. Hampir setiap waktu kita dengar berita geng motor berulah menghiasi media dan ulah kenakalan lainnya yang dinilai merugikan masyarakat. Hingga bisa menimbulkan korban akibat keganasan kenakalan-kenakalan anak remaja zaman sekarang. Di sisi lain, aparat dibuat sibuk menghadapi remaja yang menjadi budak narkoba—menggunakan, mengedarkan, bahkan memproduksi dalam skala kecil. Belum lagi geng motor yang tak lagi sekadar ugal-ugalan, tapi juga mencuri, memalak, merampok, bahkan menganiaya warga sipil.
Tapi semua itu, bagi para “pengamat moral dadakan”, tidak cukup jadi alasan untuk bertindak tegas.
Ketika aparat atau pemerintah menawarkan pembinaan lewat barak militer—bukan sebagai hukuman, tapi sebagai jalan alternatif pembentukan karakter—langsung muncul gelombang penolakan. Mereka menyebutnya militerisasi, pelanggaran hak, hingga potensi penyiksaan. Ironis, karena ketika masyarakat sipil jadi korban kekerasan anak-anak ini, tidak ada satu pun dari mereka yang tampil membela atau memberi solusi konkret. Semua bungkam. Semua lenyap. Semua memilih nyinyir hanya saat penegakan disiplin dimunculkan.
Pertanyaannya: mau dibawa ke mana bangsa ini kalau perilaku destruktif remaja dibiarkan dan bahkan dilindungi atas nama kebebasan?
Kita sudah terlalu lama hidup dalam euforia demokrasi tanpa arah. Kebebasan salah kaprah. Segala bentuk pembinaan dianggap kekerasan. Segala bentuk ketegasan dicap sebagai represi. Padahal, negara ini sedang menghadapi darurat moral di kalangan remaja. Dan jika tidak ada pendekatan tegas dan menyeluruh, maka ledakan sosial tinggal menunggu waktu.
Kita tentu tidak bicara tentang memperlakukan anak-anak sebagai tentara. Tapi barak militer bukanlah penjara. Ia adalah tempat di mana disiplin, tanggung jawab, dan rasa cinta tanah air ditanamkan dengan sistematis. Sesuatu yang sangat langka ditemukan di rumah, sekolah, bahkan lingkungan sosial anak-anak kita saat ini. Orang tua lepas tangan, sekolah sibuk mengejar akreditasi, masyarakat apatis. Lalu ketika negara mengambil alih dengan pendekatan lebih keras, mereka yang sebelumnya abai malah sok peduli.
Sikap seperti ini bukan hanya hipokrit, tapi juga membahayakan.
Negara butuh regenerasi pemuda yang kuat, tangguh, dan berintegritas. Bukan generasi rebahan, tukang rusuh, dan pencandu. Kalau semua metode lembut sudah gagal, saatnya pendekatan berbeda diterapkan. Dan bila pendekatan itu menuntut mereka bangun pukul 5 pagi, baris-berbaris, disiplin makan dan mandi, serta tidak bisa pegang gadget seenaknya, maka biarlah itu menjadi bagian dari pembelajaran hidup. Itu bukan penyiksaan, itu pendidikan mental—yang selama ini hilang.
Mereka yang benar-benar peduli pada masa depan anak bangsa seharusnya mendorong inovasi dalam pembinaan, bukan hanya berkoar-koar tanpa solusi. Kalau barak militer bukan pilihan, mana alternatifmu? Jangan hanya bisa menolak, tapi tak punya tawaran. Karena bangsa ini sedang kehabisan waktu—dan kita tak bisa menunggu anak-anak ini tumbuh sambil berharap mereka berubah dengan sendirinya.
Mereka sudah terlalu nyaman dalam kenakalan. Saatnya kita berhenti memanjakan. Bangsa besar lahir dari generasi kuat. Dan generasi kuat lahir bukan dari pujian, tapi dari tempaan.
Tulisan ini di buat Tim Pemerhati Politik Redaksi mitratoday.com