DaerahNasionalPolitik

Pilkada Malra 2018 Dalam Perspektif Ruang Publik

Perhelatan Pilkada Maluku Tenggara (Malra) telah menempatkan tiga Bakal calon Bupati dan Wakil yang dianggap sebagai putra putri terbaik daerah, sekaligus representasi dari masyarakat Kabupaten Malra. Ketiga Balon Bupati dan Wakil tersebut semuanya diusung oleh Partai Politik.

Sudah menjadi hal yang lumrah dalam panggung politik pragmatis, dimana setiap paslon sudah pasti akan mengklaim diri mereka sebagai pembela kepentingan rakyat. Walaupun kata “rakyat” yang mereka maksud sendiri kurang begitu jelas, apakah itu adalah Rakyat Miskin atau Rakyat yang memiliki sumber daya material (Oligark dan Elit) ?.

Bila melihat aktor yang akan bertarung dalam Pilkada Malra 2018, sesungguhnya dapat dipastikan bahwa ketiga paslon yang ada semuanya tergolong ke dalam lingkaran elit. Hal ini dapat dilihat dari posisi sumber daya kekuasaan (Jefrey Winters: 2011) yang dimiliki,  meliputi: Hak Politik Formal, Jabatan Resmi, kuasa pemaksaan, kekuatan memobilisasi dan kekuasaan material.

Jika dilihat dari posisi sumber daya material yang dimiliki ketiga Paslon, secara kuantitas jelas dalam hal ini pasangan yang paling unggul adalah M Taher Hanubun (Rp. 6.527.103.064) – Petrus Beruatwarin (Rp. 398.646.37).

Kemudian disusul pasangan Anggelius Renjaan (Rp. 3.759.236.9600) – Hamzah Rahayaan (Rp. 174.600.000) dan yang terakhir adalah pasangan Esebius Utha Safsafubun (Rp. 179.711.383) – Abdurrahman Matdoan (Rp. 711.300.899). Disini perlu untu penulis tekankan bahwa, dalam tulisan ini, penulis tidak berpihak pada salah satu paslon! Melainkan tulisan ini hanya diperuntukkan untuk meng-edukasi publik, khsusunya masyarakat Malra.

Meskipun disini ada calon yang secara kuantitas memiliki kekuasaan material lebih kecil, namun mereka pernah menduduki jabatan resmi, baik dalam birokrasi maupun non-birokrasi. Atas dasar inilah kita perlu memberikan jarak atas kedudukan paslon tersebut dengan masyarakat (khsusnya) miskin. Langkah ini perlu diambil atas dasar pertimbangan “kepentingan”.  Sebab kepentingan politik elit tentu berbeda dengan kepentingan politik rakyat.

Memberikan jarak antara paslon dan masyarakat menjadi penting. Guna mengantisipasi manipulasi jargonisasi “kesejahtraan masyarakat Malra”, “Perubahan yang lebih baik”, dst – agar masyarakat tidak terkecoh dengan slogan tersebut.

sekali lagi penulis ingin menekankan bahwa kepentingan politik elit itu berbeda dengan kepentingan politik rakyat!. Menggolongkan mereka sebagai kelompok elit sudah menjadi hal mutlak yang tidak bisah dibantah.  Secara kualitas sumber daya material, hal itu sudah terbukti.

Ditengah kondisi ketidak setaraan sumber daya material, seperti yang terjadi saat ini (Lihat Gini Rasio Prov Maluku), akan sangat sulit dan bahkan tidak mungkin untuk adanya kesetaraan politik. Persoalan sumber daya material ini yang tidak dapat dilepaskan dalam memahami dinamika politik indonesia saat ini.

Dalam setiap momentum pilkada, sangat jarang kita temui adanya pergulatan gagasan yang bersifat ideologis itu hadir dihadapan publik. Paling banter masyarakat hanya di ajarkan bagaimana memahami kegagalan dan kebusukan lawan politik. Proses indoktrinasi inilah yang membuat masyarakat harus terjerumus dalam pilihan yang salah.

Jika kondisi ini kita baca dalam perspektif teori ruang publik. Maka arena pilkada merupakan upaya pertarungan wacana guna membangun hegemoni paslon bupati. Namun, secara teoritis, pertarungan wacana mensyaratkan adanya ruang publik yang di dudukan secara adil dan fer. Jika tidak teori tersebut akan menjadi tumpul atau tidak memiliki relevansi untuk di praksiskan dalam kondisi ketidak setaraan dalam masyarakat.

Adalah Jurgen Habermasi (1962-1989) yang mengemukakan pandanganya terkait Ruang publik (Public Sphere). Menurutnya, ruang publik sebagai suatu wilayah yang muncul dalam ruang yang spesifik dalam Masyarakat Borjuis. Dimana ia dapat berfungsi sebagai ruang yang memperantarai Masyarakat sipil (Civil Society) dan Negara.

Persoalan Ruang Publik ini menjadi penting untuk ditelaah lebih jauh. Sebab, ruang publik sendiri merupakan representasi dari kehidupan sosial itu sendiri, yang mana di dalamnya terdapat berbagai informasi, kepentingan, pandangan, bertemu dengan melalui suatu proses pertukaran. Sehingga disini ruang publik harus bebas dari kepentingan guna menciptakan suatu diskursus publik yang adil dan Fer.

Walaupun teori tersebut tampak begitu ideal, namun kita tidak dapat mengabaikan fakta bahwa saat ini kedudukan ruang publik telah berhasil di kooptasi oleh kelompok dominan (elit dan oligark) lewat kekuatan sumber daya kekuasaan dengan memanfaatkan kekuatan material. Melalui kanal-kanal informasi yang memungkinkan terbentuknya sebuah hegemoni kelompok dominan terhadap masyarakat Malra.

Konsekuensinya adalah politik kelas menjadi terduksi dalam wacana belaka, inilah yang seringkali menimbulkan politik identitas. Dimana nuansa patron-client dijadikan sebagai praktek politik. Maka kedudukan masyarakat menjadi tidak begitu penting, sebab langkah awal yang seringkali diambil adalah membangun hubungan emosional antara paslon dengan aktor yang memiliki otoritas terhadap masyarakat.

Kita tidak dapat menafikkan hal ini. Sebab inilah fakta yang terjadi dan harus dilihat sebagai imbas dari sistem politik. Atas dasar inilah kita seringkali bertanya, mengapa setiap aktor yang mau mencalonkan dirinya sebagai kepala daerah begitu memperebutkan rekomendasi partai?, mengapa yang seringkali bertarung dalam pilkada hanya mereka yang tergolong dalam lingkaran elit atau kelas menengah ?. Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan ini kita harus mengkorelasikan dengan sistem yang ada. Dimana demokrasi Indonesia saat ini tengah berada dalam cengkraman Oligarki.

Alih-alih mau mengakui fakta tersebut, pemerintah justru beralibi dalam menyikapi kondisi ini. hal ini sangat jelas terlihat dalam statemen Presiden Jokowi (sebagai representasi para birokrat Nasional dan Lokal) yang mengatakan “Demokrasi Kita terlalu Kebablasan”. Dengan kata lain, pemerintah justru tidak mau untuk mengatakan yang sejujurnya pada publik bahwa Bangsa Indonesia saat ini tengah berada dalam Demokrasi Oligarki. Dalam istilih Yuki Fukuoka (2013) disebut sebagai demokrasi Oligarki merujuk pada suatu tatanan demokrasi dimana kepentingan politik di dominasi oleh koalisi kepentingan yang predatoris serta mendorong peminggiran masyarakat sipil.

Politik Gagasan: Sebuah Refleksi

Tantangan dalam Pilkada Malra 2018 adalah beranikan Masyarakat Sipil (Civil Society) membangun counter terhadap praktek politik yang mengedepankan kekuatan sumber daya material (uang) ?. Langkah yang dapat diambil adalah membangun politik gagasan.

Dalam sejarah politik Indonesia. Politik gagasan hanya kita temui pada masa orde lama. Dimana pertarungan gagasan itu benar-benar terjadi dalam panggung politik. Kader partai benar-benar faham akan makna ideologi partai. Benturan antara Nasionalisme (PNI), Islamisme (Masyumi dan NU), serta Komunisme (PKI), membuat panggung politik nasional dan lokal menjadi berwarna.

Ditengah situasi politik yang seperti itu, masyarakat tidak memilih berdasarkan popularitas dan kekuatan material, akan tetapi mereka memilih benar-benar berdasarkan pada kualitas sang figur yang di tunjukkan melalui pergulatan gagasan.

Namun, Politik gagasan sudah tidak lagi terlihat dalam Panggung politik Indonesia sejak masa Orde Baru dan bahkan di era Reformasi. Masyarakat hanya menyaksikan politik otoritarian (Militer) dan politik uang (oligark), sehingga konsekuensinya adalah masyarakat berada dalam posisi yang ambigu untuk menentukan siapa yang harus dia pilih. Bukan karena mereka tidak mengerti akan dinamika politik, melainkan keambiguan tersebut dikarenakan oleh sistem yang membuat mereka menjadi orang yang apolitis dan pasrah pada keadaan.

Sistem politik saat ini telah menciptakan sebagian besar masyarakat yang berdimensi satu. Dalam istilah Herbert Marcuse (1964) Masyarakat berdimensi satu hanya bisa menerima dan membenarkan (Posistif), tanpa mau menolak dan mempertanyakan (Negatif).

Persoalan inilah yang perlu untuk diatasi oleh Masyarakat Sipil (Kaum Intelektual, Cendikiawan, dst) di Kabupaten Maluku Tenggara. Keberadaan Masyarakat sipil dalam konteks ini menjadi sangat penting, guna mengantisipasi kemenangan politik borjuis.

Dengan membangun politik gagasan di tataran grassroot agar masyarakat mengerti dan faham akan dinamika politik serta posisi mereka dalam Pilkada. Memupuk idealisme masyarakat agar menjadi pemilih yang cerdas harus menjadi agenda politik masyarakat sipil. Tujuannya, agar masyarakat tidak terkecoh oleh nuansa politik patronase dan janji politik semata.

Inilah momentum yang tepat untuk melakukan proses penyadaran dan pemberdayaan terhadap masyarakat. Zaman telah berubah, Ulrich Bech menyebut sebagai Modernitas Baru, dimana kehidupan ditandai dengan resiko yang tinggi. Politik patronase harus di bumi hanguskan, sebab ia memiliki banyak resiko yang ditandai dengan penindasan, pembodohan, dan alienasi. Disinilah Masyarakat Sipil harus berdiri Independen dari kelompok dominan guna menjaga idealisme agar tidak terkooptasi oleh pragmatisme politik kelompok dominan.

Rudi Hartono: Peneliti In-Trans Institute Malang dan Kepala Devisi Pengembangan Intelektual di Forum Intelektual Nuhu Evav (FINE) Malang.

Bagikan

Rekomendasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button