
Blitar,mitratoday.com – Insiden pencukuran rambut secara paksa yang menimpa seorang siswa berinisial M.H.A di salah satu Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) di Kota Blitar memicu polemik dan reaksi keras dari orang tua siswa. Didampingi kuasa hukumnya, orang tua korban melayangkan somasi kepada pihak sekolah.
Peristiwa tersebut terjadi pada Selasa, 15 Juli 2025, sekitar pukul 13.46 WIB. M.H.A diduga dicukur hingga botak oleh seorang oknum petugas keamanan sekolah berinisial AJS, tanpa pemberitahuan atau teguran terlebih dahulu.
“Klien kami mengalami tindakan pencukuran paksa tanpa peringatan, klarifikasi, ataupun pemeriksaan ulang. Rambutnya dipangkas habis hingga 0,5 cm. Akibatnya, anak kami mengalami tekanan mental berat dan menangis histeris,” ujar kuasa hukum keluarga, Mohammad Trijanto, SH, kepada wartawan pada Rabu (16/7/2025).
Dalam somasi bernomor 21/SMS/RLF/VII/2025, pihak keluarga menuntut permintaan maaf resmi dari sekolah, evaluasi terhadap petugas keamanan yang terlibat, serta jaminan agar tindakan serupa tidak kembali terjadi.
Jika dalam waktu 3 x 24 jam tidak ada tanggapan memuaskan, keluarga menyatakan siap melaporkan kasus ini ke KPAI, Komnas HAM, Ombudsman RI, serta Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur. Upaya hukum pidana dan perdata pun akan ditempuh.
Sementara itu, pihak sekolah, melalui guru bidang kesiswaan Saifuddin, mengakui adanya kelalaian dalam prosedur penegakan kedisiplinan.
“Memang tidak ada aturan tertulis terkait panjang rambut siswa, namun secara lisan selalu kami sampaikan di awal tahun ajaran dan saat upacara. Hal ini akan menjadi bahan evaluasi bagi kami,” jelasnya.
Ia juga menuturkan bahwa petugas keamanan memang diberikan kewenangan dalam memantau penampilan siswa, karena berada di posisi strategis saat siswa datang dan pulang sekolah.
Sebagai bentuk tanggung jawab, pihak sekolah mengaku telah menemui keluarga korban dan menyampaikan permintaan maaf secara langsung.
“Kami telah berkomunikasi dengan orang tua dan kuasa hukumnya. Selain soal rambut, juga dibahas bahwa siswa bersangkutan kurang nyaman berada di kelas tahfidz. Kami terbuka dan akan menyelesaikan persoalan ini dengan baik,” tambah Saifuddin.
Kasus ini kini menjadi perhatian publik karena menyangkut hak anak dan batas etis dalam penegakan disiplin di lingkungan pendidikan. Masyarakat berharap adanya langkah tegas dan preventif agar insiden serupa tidak terulang kembali.
Pewarta : Novi