BengkuluBengkulu SelatanDaerahHeadline

 Selamat Menikmati Gaji Haram Wakil Rakyat, Jika Menang Curang Dan Pakai Politik Uang

Bengkulu Selatan,Mitratoday.com– Masa jabatan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten, DPRD Provinsi, DPR RI dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) periode 2014-2019 di Indonesia sebagian telah berakhir dan akan segera berakhir.

Anggota Dewan baru hasil Pemilu serentak 17 April 2019 akan segera dilantik. Bahkan beberapa DPRD Kabupaten/Kota ataupun DPRD Provinsi sudah menggelar pelantikan wakil rakyat periode 2019-2024.

Pelantikan anggota dewan baru ini tentunya menjadi momen sejarah yang sangat berharga. Terutama bagi anggota dewan yang dilantik. Termasuk keluarga, anak, isteri/suami dan orang tua turut bangga atas capaian anggota keluarganya menjadi anggota dewan, yang notabenenya merupakan sebuah jabatan yang cukup prestise dan akan berbanding lurus dengan pendapatan.

Di koran, di media online, media elektronik dan media sosial pun dipenuhi ucapan selamat atas pelantikan anggota dewan baru. Sembari, mungkin berharap kebagian ‘kue’ dan kecipratan proyek, pekerjaan atau hal lain dari jabatan baru.

Di tengah euphoria pelantikan anggota dewan baru. Ada satu hal yang patut menjadi renungan anggota dewan yang terhormat. Ingat kembali masa-masa kampanye dan perjuangan menuju kemenangan. Ingat langkah demi langkah dan proses menuju kemenangan.

Apakah kemenangan yang didapat dengan cara halal atau kemenangan yang didapat dengan cara haram?.

Bagi yang menang dengan cara yang halal, tentunya menjadi sebuah kebanggaan. Namun bagi yang menang dengan cara curang, fitnah, janji palsu dan sogok menyogok atau politik uang, tentunya merupakan sebuah musibah yang amat dalam.

Kenapa dibilang musibah? Ketahuilah bahwa politik uang (money politic) atau sogok menyogok adalah haram.

Majelis Ulama Indonesia pun sudah mengeluarkan fatwa haram tentang sogok menyogok, termasuk money politic.

Dikutip dari www.kanalkalimatan.com, Forum Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang digelar di Ponpes Al Falah, Banjarbaru, sejak 7-9 Mei 2018 lalu, rampung dengan menghasilkan 24 fatwa plus 1 fatwa mengenai Palestina. Ijtima’ yang dihadiri sebanyak 800 ulama berbagai daerah se-Indonesia ini juga menghasilkan fatwa haram untuk praktik politik uang.

Organisasi Islam pun turut memberikan fatwa terkait money politic. Salah satunya Kongres Ulama Muda Muhammadiyah (KUMM) memberikan fatwa bahwa jabatan yang didapat dengan cara ‘Nyogok’ maka jabatan tersebut adalah jabatan yang haram.

Dikutip dari Detik.com, tak hanya di tataran politik kepartaian saja, namun dalam tataran jabatan pekerjaan, imbauan ulama muda ini juga berlaku. Misalnya jabatan PNS, Polri, Jaksa hingga tentara yang didapat dengan cara ‘nyogok’, maka jabatan itu menjadi jabatan yang haram.

Terus, kalau jabatannya haram, tentu gajinya juga haram toh? Gaji yang digunakan untuk makan minum anak isteri dari gaji yang haram? Apalagi ditambah hasil korupsi, hasil fee proyek, perjalanan dinas fiktif dan lain sebagainya?

Selain itu, Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama sudah menetapkan beberapa keputusan terkait politik uang pada Pemilu. Dilansir dari Okezone.com beberapa keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama menyepakati :

Pertama, apakah pemberian kepada calon pemilih atas nama transportasi, ongkos kerja, atau kompensasi meninggalkan kerja yang dimaksudkan agar penerima memilih calon tertentu, termasuk kategori risywah?

Jawabannya adalah tidak sah dan termasuk kategori risywah (suap). Mengapa demikian? Sebab di balik pemberian si politisi itu terkandung maksud terselubung yang jelas-jelas serupa praktik menyuap agar seseorang memilih dirinya. Pemberian tak lagi murni pemberian, melainkan ada unsur mempengaruhi pilihan politik.

Kedua, sudah lazim kita dapati, politisi memberikan sesuatu kepada calon pemilih atas nama zakat dan sedekah dari harta miliknya. Jika terbesit tujuan agar penerima memilih calon tertentu, apakah termasuk kategori risywah?

Jawabannya: pemberian zakat atau sedekah yang dimaksudkan semata-mata agar penerima memilih calon tertentu adalah tidak sah dan termasuk risywah (suap). Jika pemberian zakat atau sedekah itu dimaksudkan untuk membayar zakat atau memberi sedekah, dan sekaligus dimaksudkan agar penerima memilih calon tertentu, maka zakat atau sedekah itu sah, tetapi pahalanya tidak sempurna, dan sesuai perbandingan antara dua maksud tersebut. Semakin dominan ambisi politiknya dalam pemberian ini, semakin besar pula lenyapnya keutamaan tersebut.

Ketiga, bagaimanakah hukum menerima pemberian yang dimaksudkan untuk risywah oleh pemberi, tetapi tidak secara lisan?

Jawabanya adalah haram bila penerima mengetahui maksud pemberian itu dimaksudkan untuk risywah. Adapun bila penerima tidak mengetahuinya, maka hukumnya mubah. Tetapi bila pada suatu saat mengetahui, bahwa pemberian itu dimaksudkan untuk risywah, maka penerima wajib mengembalikannya.

Di musim pemilu, kecil sekali kemungkinan orang tidak memahami maksud terselubung bila seorang politisi memberinya uang meski tanpa berbicara apa pun. Ketika status risywah benar-benar jatuh, maka ia sama dengan memakan harta haram.

Keempat, apakah penerima risywah haram memilih calon sesuai maksud diberikannya risywah sebagaimana ia diharamkan menerima risywah?

Apabila penerima risywah (suap) memilih calon sesuai maksud diberikannya risywah karena pemberian risywah, maka hukumnya haram sebagaimana ia haram menerima risywah. Tetapi jika ia memilihnya semata-mata karena ia merupakan calon yang memenuhi syarat untuk dipilih, maka hukum memilihnya mubah (boleh). Bahkan wajib memilihnya bila ia merupakan calon satu-satunya yang terbaik dan terpenuhi syarat. Sedangkan menerima risywah tetap haram.

Dikutip dari website resmi Majelis Ulama Indonesia (MUI), Wakil Ketua Umum MUI, Buya Yunahar Ilyas mengatakan bahwa MUI sudah mengeluarkan fatwa tentang politik uang. Dikatakannya, pemberi suap maupun penerimanya akan mendapatkan laknat dari Allah SWT.

“MUI sudah pernah mengeluarkan fatwa tentang money politics atau risywah siyasiyah, itu dilarang karena merusak semuanya dan sistem demokrasi itu sendiri, sehingga tujuan mencapai pemimpin yang adil tidak akan diridhoi oleh Allah SWT,” pungkasnya.

(JN)

Bagikan

Rekomendasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

Back to top button