
Semarang, mitratoday.com – Harga seragam sekolah di sejumlah sekolah negeri Kota Semarang menuai sorotan tajam dari dua lembaga pengawas publik, yakni Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIROS) dan Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah.
Pasalnya, harga seragam yang ditawarkan pihak sekolah dinilai tidak masuk akal dan memberatkan orang tua, bahkan lebih tinggi dari harga seragam di sekolah swasta.
Dari investigasi lapangan yang dilakukan PATTIROS dan KP2KKN, ditemukan bahwa harga paket seragam di beberapa SMP Negeri di Kota Semarang mencapai Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta per siswa. Jumlah ini mencengangkan, mengingat rata-rata harga seragam di sekolah swasta hanya Rp 600 ribu hingga Rp 800 ribu.
“Ini bukan hanya soal mahal, tapi soal dugaan praktik rente dan pembebanan yang tidak wajar kepada orang tua siswa. Kami mendapat banyak laporan dari wali murid yang merasa dipaksa membeli dari penyedia tertentu,” ujar Mukhlis Raya, Direktur PATTIROS, saat menggelar konferensi pers di Semarang, Jumat (18/7/2025).
Tiga Seragam Beridentitas, Satu Sekolah
Yang lebih mengherankan, beberapa sekolah mewajibkan lebih dari satu jenis seragam beridentitas sekolah, seperti batik, kotak-kotak, dan lurik – seluruhnya harus dibeli dalam bentuk baru. Pola ini diduga sebagai cara halus menggiring orang tua agar membeli lebih banyak seragam dari sumber yang telah ditentukan pihak sekolah.
“Contohnya di salah satu SMP Negeri, dalam seminggu siswa harus pakai tiga jenis seragam berbeda yang semuanya memiliki logo atau identitas sekolah. Ini jelas mengarahkan pembelian,” tegas Mukhlis.
Menurutnya, seragam memang bagian dari disiplin sekolah, namun pembeliannya tidak boleh menjadi beban ekonomi dan tidak boleh dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas.
PATTIROS menilai ada kejanggalan dalam pola distribusi dan penunjukan penyedia seragam di sekolah-sekolah tersebut. “Jika tidak transparan, ini bisa menjadi ladang subur bagi rente dan kolusi,” katanya.
KP2KKN: Wajib Beli di Satu Sumber, Langgar Prinsip Pasar Bebas
Ronny Maryanto, Koordinator KP2KKN Jawa Tengah, menyebut bahwa praktik pemaksaan pembelian dari satu penyedia berpotensi melanggar prinsip dasar transparansi, akuntabilitas, dan persaingan sehat. Ia menyoroti minimnya informasi kepada orang tua tentang harga satuan, mekanisme penunjukan penyedia, serta absennya ruang negosiasi atau alternatif pembelian.
“Ini seperti permainan yang sudah diatur. Orang tua tidak diberi pilihan lain, dan jika mereka tidak beli di tempat yang ditentukan sekolah, anak bisa merasa diperlakukan berbeda. Ini bentuk pemaksaan terselubung,” ujar Ronny.
Ronny juga menambahkan bahwa sekolah negeri, yang dibiayai dari dana publik, tidak boleh melakukan praktik komersialisasi terselubung atas kebutuhan dasar seperti seragam.
Menurutnya, perlu ada investigasi lebih lanjut apakah ada pihak-pihak internal sekolah yang bermain mata dengan penyedia seragam untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Desakan Evaluasi dan Audit Total
Sebagai respons, PATTIROS dan KP2KKN mendesak Dinas Pendidikan Kota Semarang serta Provinsi Jawa Tengah untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pengadaan seragam sekolah negeri. Keduanya juga meminta agar aturan pembelian seragam diubah agar memberi fleksibilitas dan keadilan bagi semua orang tua murid.
“Harus ada rasionalisasi harga, dan orang tua harus diberikan pilihan membeli dari tempat lain, selama desain dan kualitas sesuai standar. Ini soal keadilan ekonomi,” kata Mukhlis.
Selain itu, mereka juga meminta Ombudsman RI Perwakilan Jawa Tengah untuk segera turun tangan menelusuri dugaan penyalahgunaan kewenangan dan konflik kepentingan dalam praktik penjualan seragam ini.
Pendidikan Gratis Cuma Slogan?
Kasus ini membuka kembali luka lama soal komersialisasi pendidikan di sekolah negeri, yang selama ini diklaim “gratis” oleh pemerintah. Realitanya, orang tua masih harus mengeluarkan biaya tinggi untuk kebutuhan dasar, mulai dari seragam, buku, hingga pungutan kegiatan.
“Jangan hanya bicara soal akses pendidikan, tapi juga keadilan dan beban biaya. Jika seragam saja dibuat jadi ladang bisnis, maka cita-cita pendidikan inklusif hanya jadi jargon kosong,” pungkas Ronny.
PATTIROS dan KP2KKN menegaskan, mereka akan terus mengawal kasus ini dan membuka kanal pengaduan bagi masyarakat yang merasa dirugikan. Mereka juga menyatakan siap membawa kasus ini ke jalur hukum apabila ditemukan indikasi kuat pelanggaran aturan.
Pewarta : Mualim