Opini

Matinya Gerakan Mahasiswa Milenial?

Jujur saja, pernyataan seperti itu membuat harga diri saya sebagai mahasiswa terpancing, dan menyadari sebagai generasi muda tidak boleh menjadi generasi yang hilang.

Jika Anda adalah generasi millenial yang saat ini menyandang status sebagai mahasiswa, pastinya sering mendapat atau mendengar pertanyaan seperti ini, “Mahasiswa kok tidak ikut demo? Mahasiswa kok apatis? Mahasiswa kok buta politik? Berbeda sekali dengan mahasiswa Angkatan 65 dan 98.” Jujur saja, pernyataan seperti itu membuat harga diri saya sebagai mahasiswa terpancing, dan menyadari sebagai generasi muda tidak boleh menjadi generasi yang hilang.

Membanding

Jika kita berbicara tentang gerakan politik millenial, keterlibatan anak muda dalam politik khususnya, sering kali dari tahun ke tahun selalu ada wacana untuk membanding-bandingkan gerakan mahasiswa dari generasi ke generasi mulai dari Generasi 65, Generasi 98, dan Generasi Millenial. Dewasa ini, banyak masyarakat merasa bahwa Generasi Millenial tumbuh menjadi generasi yang apatis dan tidak ada bunyinya, sering dipertanyakan gerakan politiknya dalam mengawal kebijakan pemerintah.
Mantan aktivis mahasiswa 98 yang kini menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Budiman Sujatmiko mengatakan bahwa membandingkan gerakan mahasiswa dari masa ke masa dengan sama persis adalah sebuah kekonyolan. Zaman berubah seiring berjalannya waktu, hari ini teknologi memungkinkan menyelesaikan persoalan yang berat tanpa menguras energi sebesar dulu. Dulu, aktivis mahasiswa 98 berdemo untuk menggulingkan sebuah rezim yang berkuasa. Kalau sekarang sebagian persoalan bisa diselesaikan dengan tekonologi, kenapa harus memaksakan diri agar tampak berkeringat?

Budiman juga menjelaskan, pada masa Orde Baru dahulu dirinya pernah mengadvokasi kasus tanah di kampung halamannya daerah Cilacap, dan bertahun-tahun kasus itu tidak selesai. Tapi, begitu dia jadi Anggota DPR, masalah itu selesai. Artinya, cara menyelesaikan masalah memang tampak tidak “seromantis” cara yang lama, tetapi kenyataannya lebih efektif.

Pengalaman Budiman Sujatmiko di atas dapat dimaknai dengan dua hal. Pertama, kekuasaan bisa membuat suatu masalah diselesaikan secara lebih efektif. Kedua, teknologi juga menawarkan metode penyelesaian masalah yang lebih efektif dan efisien. Menurut saya, tuntutan yang dialamatkan pada Generasi Milenial sekarang tidak bisa disamakan dengan tuntutan kepada generasi sebelumnya. Pada masa sekarang, yang dituntut adalah bukan tentang apa yang dilakukan, tapi apakah yang dilakukan tersebut menjadi hasil.

Jadi Jelas bahwa tuntutan yang dapat diberikan kepada Generasi Milenial adalah bukan sebanyak apa demo yang mereka lakukan. Melainkan, adalah result oriented, karya apa yang sudah kamu berikan kepada bangsa ini.

Tantangan Berbeda
Masyarakat harus memahami bahwa generasi dulu dan Generasi Milenial sekarang mempunyai tantangan yang berbeda. Aktivis pada masa Orde Baru hidup di masa pemerintahan otoriter dan teknologi yang belum terlalu berkembang seperti sekarang. Menjadi wajar jika kemudian gerakan yang mereka lakukan adalah dengan demo turun ke jalan, karena belum didukung oleh teknologi yang memadai. Generasi Milenial sekarang tantangannya bukan seperti dulu lagi.

Tantangan mereka adalah bagaimana menciptakan karya yang berguna di tengah masyarakat, seberapa banyak inovasi yang diberikan kepada masyarakat. Sikap kritis mahasiswa jangan hanya dimaknai ketika menghadapi sebuah masalah saja. Kritisme mahasiswa harus dimaknai dengan menjadi problem solver bagi masyarakat. Hari ini, gerakan mahasiswa untuk menciptakan teknologi baru yang berguna bagi masyarakat banyak merupakan salah satu gerakan politik, karena gerakan tersebut membawa perubahan bagi kesejahteraan masyarakat.

Gerakan politik itu tidak bisa dimaknai lewat satu perspektif saja, terlebih di era Reformasi ini. Setiap mahasiswa mempunyai caranya sendiri dalam berjuang, dan tentu saja perjuangan tersebut tidak bisa disamakan dengan mahasiswa generasi sebelumnya. Teknologi memang memegang peranan penting dalam gerakan mahasiswa milenial, contohnya saja musibah gempa yang terjadi di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Dalam waktu yang relatif singkat semua elemen masyarakat khususnya mahasiswa bergerak melakukan penggalangan dana untuk membantu saudara kita yang terkena musibah tersebut. Tentunya hal ini disebabkan oleh cepatnya informasi yang beredar baik di TV atau media sosial, sesuatu hal yang tidak terjadi di masa Orde Baru di mana kebebasan berkumpul dan berpendapat masyarakat sangat dibatasi.

Sekali lagi, tulisan ini tidak bermaksud untuk mendiskreditkan apa yang telah diberikan dan diperjuangkan oleh mahasiswa generasi terdahulu. Tulisan ini hanya sebagai salah satu “pembelaan” saya sebagai mahasiswa milenial yang selama ini dianggap tidak mempunyai gerakan nyata bagi masyarakat. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua mahasiswa di generasi ini menjalankan tugas dan fungsi mereka sebagaimana mestinya, bahkan kebanyakan dari mereka tumbuh menjadi mahasiswa apatis yang tidak peduli akan apa yang menjadi persoalan bangsa hari ini.

Pada akhirnya menjadi harapan saya dan kita semua pada umumnya, bahwa Generasi Milenial yang ada hari ini dapat tumbuh dan berkembang menjadi calon-calon pemimpin bangsa di masa yang akan datang. Biarkan generasi ini berkreasi dan berjuang dengan cara mereka sendiri; selama itu untuk kepentingan masyarakat bersama, rasanya hal itu tidak akan menjadi masalah. Perbedaan cara berjuang tidak akan pernah menjadi masalah, yang menjadi masalah adalah ketika tujuan perjuangan itu tidak lagi sama.

Deki R Abdillah Wakil Ketua Himpunan Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan Universitas Jambi.
Sumber   :  https://news.detik.com/
Bagikan

Rekomendasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button